KAUM pria dianjurkan menikah pada usia di bawah 30 tahun. Sebab, anak yang terlahir dari ayah berusia tua memiliki kemampuan berpikir rendah.
Pria yang telat menjadi ayah biasanya karena yang bersangkutan telat menikah. Ada banyak alasan yang menyebabkan kaum adam menunda membina mahligai rumah tangga. Sebut saja Rudi, 40, yang sudah pacaran selama 6 tahun, tapi hingga sekarang belum juga mau menikah karena alasan belum mapan. Atau Adrian, 42, yang mengaku telat menikah karena belum siap mental dan menanti wanita yang pernah menjadi cinta pertamanya.
Pengalaman berbeda juga diungkapkan Gunadi, 44. Pria yang berprofesi sebagai koki ini sejak usia 25 sudah sibuk melanglang buana ke restoran dan kapal pesiar di berbagai negara. Saking asyiknya mencari pengalaman, alumnus IISIP Jakarta itu pun baru menikah saat berumur 36 tahun, dan baru punya anak pada usia 42 tahun. Ketika ditanya soal penyebab telat nikah, seraya tergelak Gunadi menjawab: "Enggak nemu-nemu soulmate sih mbak..."
Apa pun alasannya, bagi Anda kaum pria yang sudah ideal untuk berkeluarga, hendaknya segera meninggalkan masa lajang Anda. Mereka yang memegang teguh prinsip "tua-tua kelapa, makin tua makin banyak santannya", sebaiknya juga berpikir ulang.
Selama ini, anjuran "jangan telat nikah" sering kali hanya dicamkan pada kaum wanita. Padahal, jam biologis ternyata tidak kenal gender. Apalagi jika Anda menginginkan keturunan berotak brilian, disarankan untuk menikah antara usia 20-30 tahun.
Itulah saran berharga yang dapat dipetik dari sebuah penelitian terbaru dari Negeri Paman Sam. Dalam laporan itu disebutkan bahwa bayi dan anak-anak yang terlahir dari ayah yang sudah berumur tua memiliki kecerdasan dan kemampuan berpikir lebih rendah dibandingkan teman-teman mereka yang berayahkan pria dewasa muda.
Penelitian yang diterbitkan dalam PLoS Medicine edisi Maret ini merupakan yang pertama meneliti dampak dari pria-pria yang telat menjadi ayah hingga usia 40 atau lebih. "Sekarang kami memiliki lebih banyak bukti bahwasanya faktor usia ayah berperan penting. Artinya, makin tua ayah, makin jelek pula hasil tes kecerdasan sang anak," ungkap ketua tim peneliti, John McGrath MD PhD, dari Queensland Brain Institute of the University of Queensland di Brisbane, Australia.
Bersama timnya, McGrath mengumpulkan data 33.000 anak di Amerika Serikat yang lahir antara tahun 1959-1965 dari ayah berusia 15-65 tahun. Selanjutnya, peneliti menganalisis hasil tes kognitif yang dilakukan anakanak tersebut saat berusia 8 bulan, 4 tahun, dan 7 tahun. Adapun tes dimaksud mencakup evaluasi kemampuan anak untuk berpikir dan menganalisis, konsentrasi, belajar, berbicara, membaca, aritmatika, mengingat, serta kemampuan motorik seperti koordinasi tangan dan mata.
Hasilnya, peneliti mendapati bahwa makin tua usia sang ayah, makin rendah pula skor kecerdasan anaknya. Sebagai contoh, anak yang terlahir dari ayah berusia 20 tahun memiliki skor tes IQ rata-rata 106,8 poin. Sementara anak yang terlahir dari ayah usia 50 tahun rata-rata skornya lebih rendah, yaitu 100,7.
Uniknya, anak-anak yang terlahir dari ibu yang berumur lebih tua ternyata memiliki skor kecerdasan lebih tinggi dibanding yang beribukan wanita muda. Peneliti berpandangan, hal ini mungkin disebabkan pada ibu yang lebih tua umumnya memiliki pengalaman lebih "matang" dan lingkungan perawatan yang lebih baik.
Lantas, apa keterkaitan antara faktor usia ayah dan IQ yang rendah? Menurut Mc-Grath, salah satu kemungkinan penyebabnya adalah mutasi. Seperti kita ketahui, sperma diproduksi di dalam tubuh pria seumur hidup. Nah, berdasarkan penelitian, makin tua umur seorang pria, spermanya makin mudah mengalami mutasi, yaitu salah mengartikan kode DNA. Akibatnya, perkembangan otak bayi dan anak terganggu. Perlu diingat juga bahwa hormon terpenting pria, yakni testosteron, mulai menurun pada usia 30 sehingga pria dianjurkan memiliki anak sebelum usia 30.
"Telat menjadi ayah dapat berdampak signifikan, baik terhadap kondisi fisik maupun psikologis anak," tandas psikiater Mary Cannon, MD, dari the Royal College of Surgeons di Dublin, Irlandia. Ia mengingatkan beberapa faktor risiko dari telat menjadi ayah. Mulai penurunan skor IQ anak sebanyak 3-6 poin, hingga risiko penyakit mental serius seperti skizofrenia dan autis.
Di samping faktor genetik dan usia, peneliti juga mendapati, sosial-ekonomi seperti pendapatan dan pendidikan orangtua juga turut memengaruhi seberapa cemerlang kemampuan berpikir si anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar